Nov 23, 2017

Obat batuk buat penderitaan pengungsi Rohingya

Pepatah "tidak makan nangka kena getahnya" buat mendeskripsikan kerepotan Pemerintah dalam merespon & berbuat buat menangani nasib pengungsi muslim Rohingya yg terombang ambing pada lepas pantai Indonesia rasanya tidak tepat alasannya adalah tidak pesta & makan pada sana. Yang ada alasannya adalah persekusi & sikap rasialis pada Myanmar terhadap etnis Rohingya yg akibatnya wajib ikut ditanggung oleh Indonesia, Malaysia, Thailand & lainnya.

Meski patut dipuji langkah sigap Pemerintah buat segera mengkomunikasikan kasus ini ke tiga arah yaitu menggunakan Myanmar, bicara menggunakan Malaysia & Thailand dan membagikan donasi humanisme sementara sembari menunggu proses penjelasan status pengungsi, tetapi respon ini sesaat sempat diwarnai oleh kebijakan yg tidak koheren alasannya adalah adanya perbedaan pandangan dari TNI buat sama sekali tidak menerima peredaran masuk pengungsi.

Namun pada akhirnya, dari pertemuan Malaysia, Indonesia & Thailand pada Kuala Lumpur Rabu lalu (20/5), telah timbul kabar baik bahwa Indonesia & Malaysia bersiap menciptakan pemukiman sementara bagi para imigran gelap yg terkatung selama berbulan-bulan pada lautan itu & akan menjamin nasib lebih dari 7.000 orang yg sekarang ada pada sekitar Selat Malaka. Indonesia tercatat telah menampung 1.346 orang pada Aceh Utara sejak pekan lalu.

Dengan garis tebal saya ingin menggarisbawahi pernyataan Menlu Retno LP Marsudi bahwa pertama respon pemerintah ialah menggunakan mencari apa akar kasus kekisruhan ini. Diakui atau tidak, alasannya adalah sensitivitas & budaya berperilaku dalam ASEAN & kepentingan Barat, pengungkapan akar kasus ini selama ini tidak secara tegas dilakukan oleh pemerintah negara-negara yg terpaksa wajib menghadapi kabar pengungsi Rohingya.

Bicara akar kasus, global lebih dahulu perlu melihat bahwa pengungsi Rohingya ialah korban kebencian & berpretensi. Holocaust Memorial Museum pada AS awal Mei 2015 telah mengeluarkan laporan berjudul They Want Us All to Go Away : Early Warning Signs of Genocide in Burma bahwa Rohingya selalu menerima ungkapan kebencian, kekerasan fisik, segregasi, kondisi hidup yg menyedihkan, pembatasan mobilitas, perampasan lahan, kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, pembatasan hak membagikan bunyi dalam pemilu, pencabutan kewarganegaraan, pemerasan & pelanggaran HAM lainnya.

Perlu saya kutip juga pernyataan U Than Tun, pejabat Emergency Coordination Center pada Sittwe, Myanmar dari CNN.com (12/11/2014) bahwa Rohingya tidak ada, & tidak pernah ada. Mereka ialah imigran ilegal dari Bangladesh & kami ingin mengusirnya dari tanah kami. Tidak usah ditanyakan bagaimana sikap pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi atas hilangnya kedamaian bagi kaum Rohingya, alasannya adalah beliau memang hanya diam & tak pernah bersikap.

Dalam batas pribadi, Barat juga diam tak pernah lantang mengecam pemerintah Myanmar atas pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya. Dr. Maung Zarni dari London School of Economics (2013), pernah menyatakan bahwa diamnya Barat ialah alasannya adalah memang sedang berusaha amat keras memajukan kepentingan strategis & hemat mereka sendiri & karenanya mereka menonjolkan narasi bahwa Myanmar ialah negara dalam transisi demokrasi yg perlu didukung.

Dengan akar kasus mirip itu kunci penyelesaian kasus ada pada Myanmar sendiri. Persoalannya bagaimana memproduksi Myanmar mau atau bisa memproduksi perubahan sikap & kebijakan buat menghilangkan berpretensi, kebencian & kekerasan yg nampaknya direstui ini?

Upaya negara-negara terdampak buat meregionalisasikan persoalan ini sebenarnya hanya akan berujung pada solusi permukaan bila Myanmar sendiri cuek. Seperti memberi obat batuk pada penderita kanker paru-paru. Tapi obat batuk itu pun bukan hal yg patut diremehkan alasannya adalah itu wujud komitmen pada humanisme.

Indonesia patut dipuji alasannya adalah mengadopsi prinsip non-refoulement meski Indonesia bukan penandatangan Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi tahun 1951. Dengan prinsip ini Indonesia tak akan mengembalikan korban penindasan ke negara berasal atau mengusir ke negara lain yg dapat memproduksi kebebasan atau hidupnya terenggut. Tapi ini, terus terang; sayangnya masih obat batuk. [has]
Obat batuk buat penderitaan pengungsi Rohingya

Image source: https://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/1169251/big/045394000_1457842638-INDONESIAN_MOVIE_SOUNDTRACKS_-_CHRISTINE_TAMBUNAN__1_.JPG